"Innalillahi wainnailaihi rojiun, atos ngantunkeun alam dunia Ibu Hj. Mpang tabuh 3 janari, sakali deui Innalillahi wainnailaihi rojiun, atos ngantunkeun alam dunia Ibu Hj. Mpang tabuh 3 janari dinten ayeuna."
Sahurku hari ini dibangunkan oleh pengumuman diatas, adik dari nenekku yang dari Sukabumi meninggal dunia hari ini. Masih syok, sedih atau apapun lah itu perasaan saat kita kehilangan seseorang (mohon doanya ya bagi siapapun yang membaca ini, agar beliau diampuni segala dosanya dan ditempatkan di tempat yang mulia disisi Allah)
Beliau sudah sakit terlalu lama juga, jadi, terkadang terbesit di pikiranku
"Kasihan mak ku yang satu ini, sakit yang terlalu lama malah membuatnya semakin tersiksa. Tak tega rasanya melihatnya terus sakit seperti ini."
Sehingga ada pikiran burukku yang mengharapkan lebih baik Allah mengambil nyawanya dibandingkan beliau harus sakit lebih lama lagi, mungkin ini yang disebut terlalu mengeliminasi vulnerability.
Saat aku melayat, ternyata ada kabar dari ibu-ibu di kampung kalo Ibu Hj. Ika dari kampung sebelah juga meninggal dunia pukul setengah tiga subuh. Akhirnya setelah aku melayat adik nenekku, aku, ayahku, ibuku, dan beberapa ibu dari RT ku segera berpindah untuk melayat Ibu Hj. Ika di kampung sebelah.
"Gak nyangka ya, perasaan teh kemarin bu Ika masih ikut mingonan (re: pengajian ibu-ibu)." ucap Ibu Ocah yang memang ketua pengajian di kampungku sambil menahan isak tangis.
"Iya, meni barengan atuh yah sama bu Hj. Empang. Untung meninggalnya teh di bulan Ramadhon." Bu Irat menimpali dengan kerudungnya yang semakin basah.
Setelah kami datangi ternyata rumahnya sepi senyap, tak ada satu pun batang hidung yang tampak. Cuaca pun masih dingin menusuk, maklum masih pukul enam pagi.
"Apa masih dirumah sakit nya?" ujar Bu RT.
"Tapi da biasanya mah udah penuh atuh, banyak orang yang nungguin."
"Iya muhun, malahan mah gak ada bendera kuning sama sekali ini teh." Bu Nyai menimpali
Tak lama kemudian ada seseorang ibu berbaju hitam membawa baskom di kempit dipinggang kirinya.
"Naros (re: tanya) ibu itu wae ya?"
Akhirnya Bu RT keluar, eh ternyata setelah ibu itu berjalan semakin mendekat.... Bu RT Berbalik ke mobil.
"Aih, bukannya itu teh Bu Hajah Ika?"
"Ah masa ini teh?" tanya kita semua yang berada di mobil.
Aku yang memang tak tau wajah bu Hj. Ika hanya diam.
"Iya kok, itu mah Hj. Ika."
Kami semua malah ketakutan karena menganggap itu hantu, setelah akhirnya semua memberanikan diri turun dari mobil dan menghampiri ibu berbaju hitam tersebut.
"Aya naon ieu teh ibu, ngararabring? (Ada apa ini ibu-ibu kok pada rame?)"
Tinggi badannya semapan, berbaju gamis hitam dengan sedikit bordiran bunga berwarna emas di tangannya. Wajahnya yang sudah mulai keriput di usia kepala 6, lipatan di atas alisnya kian tampak, bintik-bintik hitam di pipinya yang muncul kerena penuaan juga tak bisa lepas dari mata.Ternyata benar, itu adalah ibu Hj. Ika yang kami semua kira sudah meninggal.
Sontak kami semua berkata
"ALHAMDULILLAH, Bu Hj. Ika tadi teh ada pengumuman di masjid saurna (re: katanya) ibu meninggal, aih ternyata nggak, tuh bu titin yang bilang."
Kami semua serempak menoleh ke bu titin dan berkata
"Kumaha ari bu titin teh? (Gimana sih bu Titin)
"Salah denger kitu saya teh ya?"
Akhirnya aku dan semua ibu hanya tertawa hebat sambil menyalahkan Bu titin yang sudah membuat hoax. Ternyata Ibu Hj. Ika tidak meninggal, yang ada bu titin yang salah mendengar pengumuman di masjid.
(true story, was taken @kampung kebonwaru 25/07/14)
Ya ampuun kok bisa salah inpo ya mak hehe, untung ngga pada lari pas bu Hj.Ika datang ya
ReplyDeleteIya mak, waduh itu sampe geger 2 desa. Haha
DeleteHai! I like your blog. Boleh minta email untuk kerjasama?
ReplyDeleteRegards